Buku menjadi nutrisi wajib bagi
segenap mahasiswa, terkhusus yang menyandang gelar aktivis. Ladang informasi
yang nantinya diserap sebagai modal analisis keadaan sekitar bagi seorang
mahasiswa. Sudah menjadi pemandangan biasa, para mahasiswa yang kesehariannya
tidak luput dengan membaca, menulis dan diskusi. Sebuah kultur yang tidak bisa
dipisahkan bagi seorang mahasiswa. Tetapi hal itu hanya sebagaian kecil dari
sejarah mahasiswa sebelum reformasi. Sangat jarang pemandangan seperti itu
terjadi saat ini. Tidak heran, karena aktivitas seperti itu dirasa bukan lagi
prioritas utama bagi seorang mahasiswa.
Mahasiswa seakan terlelap dengan
zona nyaman yang serba mudah dan instan. Perkembangan teknologi masuk ke dalam
berbagai bidang tidak terkecuali dunia pendidikan. E-book (electronic book)
sebagai bentuk penetrasi teknologi dirasa tidak mampu menunjang fasilitas lebih dalam
melestarikan budaya literasi. Riset terakhir yang dilakukan Ikatan Penerbit
Indonesia (IKAPI) pada 2016, penjualan e-book di Indonesia masih rendah, dengan
rata-rata yang diunduh adalah e-book gratis. Tidak berbeda, penelitian yang
dilakukan oleh Pew Research Center pada 2018 menyatakan 26 persen orang Amerika
telah membaca 1 e-book dalam 1 tahun terakhir. Lebih sedikit dibandingkan
pembaca buku cetak dengan presentase 64 persen.
Banyak faktor yang mempengaruhi
daya baca e-book saat ini. Romantisme lembaran- lembaran kertas memang nyata
menjadi ciri khas yang tidak bisa didapat dari e-book. Dari hal itu pula,
muncul rasa nyaman sehingga para pembaca seakan terlelap dalam romansa buku
cetak. Walaupun berjam-jam terlewatkan, rasa bosan seketika hilang jika sudah
bercumbu dengan buku. Terlepas dari itu semua, hegemoni budaya yang kental
dengan sifat hedon dan pragmatis membuat mahasiswa tidak sadar bahkan lupa
sejarahnya sendiri termasuk membaca buku.
Pendekar Pena tanpa Penerus
Julukan
pendekar pena disematkan kepada salah satu pendiri PMII (Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia) juga sebagai ketua umum pertama pengurus besar PMII yakni
Mahbub Djunaidi. Mulai dari menulis di surat kabar lokal hingga menjadikan
tulisan sebagai kritikan pedas bagi
kinerja pemerintah pada waktu itu. Gaya tulisan beliau yang penuh satire
tapi kental akan perlawanan dan dibungkus dengan humor praktis membuat berbagai
kalangan cepat memahami substansinya. Catatan sejarah juga membuktikan bahwa
beliau banyak berkontribusi dalam gejolak politik saat itu. Pada tahun 1978
beliau ditangkap dan dikurung di penjara bersama Bung Tomo dengan alasan
subversif. Aktif dalam menyuarakan isu-isu kemanusiaan dan ketatanegaraan
membuat Mahbub menjadi ancaman pada waktu itu.
Sosok
sederhana tapi bersahaja membuat Mahbub
seakan tidak luntur dari tinta sejarah sampai saat ini. Karir
kepenulisan beliau dimulai dari bangku SMP. Berbagai karyanya seperti esai,
artikel, buku, novel mewarnai dunia kepenulisan pada waktu itu. Mahbub lebih
banyak menorehkan sikap politiknya lewat tulisan, walaupun beberapa kali
mendapatkan tawaran jabatan di beberapa jajaran pemerintahan, beliau lebih
memilih mendedikasikan diri dalam dunia kepenulisan. Karya- karyanya masih
populer dan banyak digunakan referensi dalam memotivasi diri khususnya
mahasiswa.
Walaupun
banyak dari mahasiswa menjadikan Mahbub sebagai figur yang identik dengan
perlawanan, budaya literasi yang dibawa beliau justru tidak terlalu banyak
dijadikan percontohan. Entah apa yang
merasuki mahasiswa. Segala kemudahan dalam mencari sumber informasi tidak
menjadi terobosan yang membuat semangat literasi tumbuh dibanding sebelumnya.
Menjadi Besar lewat Literasi
Pengarang
”Das Kapitalis”, Karl Marx memiliki
kebiasaan berjam-jam hanya untuk membaca buku. Lewat itu pula faham Marxsisme
muncul dan sampai sekarang masih digandrungi beragam pihak sebagai referensi
dan asupan pengetahuan dalam gejolak politik revolusi. Salah satu sosok yang
menjadikan buku sebagai lorong-lorong menuju pengetahuan serta keilmuan.
Berangkat
dari latar belakang pesantren, sosok bernama Abdurrahman Wahid muncul dengan
gagasan kebangsaan, pluralisme hingga humanisme. Tidak jauh dengan Marx, beliau
juga sosok penikmat buku ulung serta tekun. Mulai mengeksplore kajian-kajian
keagamaan serta filsafat saat duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs). Wacana
kiri pun tidak luput dari penglihatannya. Tidak membutuhkan waktu lama bagi
beliau untuk menyelesaikan buku “Das
Kapitalis” Marx yang jumlahnya
sampai berjilid-jilid itu. Figur yang kental dengan kehidupan religius sebagai
santri, tetapi juga kian menggandrungi keilmuan serta pengetahuan dunia lewat
buku.
Berbeda dengan
yang lain, KH. Muhammad Sahal Mahfudh membungkus dakwah keagaman lewat
literasi. Sebagai contoh, “Fiqh Sosial”
yang dibawa oleh Kyai Sahal mencoba mensandingkan kaidah fiqih dengan konteks
yang relevan dengan sekarang. Aktivitas beliau tak luput dari Muthola’ah kitab serta aktif dalam
menulis. Kebiasaan beliau itu memang bersumber dari tradisi membaca yang kuat.
Jerih payah tersebut beliau tuangkan dalam literasi sebagai bentuk aktualisasi
dan kontekstualisasi, khususnya pada kitab kuning. Produktivitas beliau dalam
literasi membuahkan beberapa karya masyhur seperti Al-Bayan al-Mulamma’ an-Alafazh al-Luma’, Al-Tsamaratu
al-Hajeniah, Al-Faraid al-Ajibah, Nuansa Fiqih Sosial, Wajah Baru Fiqih
Pesantren dsb. Hal itu
semua beliau dedikasikan agar mempunyai manfaat bagi masyarakat dan bangsa.
Karl Max , Gus
Dur, Kyai Sahal merupakan segelintir representasi cahaya keilmuan lewat buku.
Lewat buku juga sosok seperti Tan Malaka, Soekarno, Bung Hatta serta Mahbub
dapat memantik api semangat perjuangan pada waktu itu. Walaupun umur memiliki
batas, tetapi karya- karya serta kontribusi mereka akan abadi dan akan terus
dilestarikan sampai generasi yang akan datang.
Pemuda tanpa Literasi, bisa apa ?
Meminjam kutipan dari Jorge Luis Borges, "buku adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi". Sejarah,
pengetahuan, keilmuan, bahkan goresan tinta keresahaan seorang anak perempuan
tersaji dalam buku. Disamping memiliki manfaat yang luar biasa, buku juga bisa
menjadi ancaman serius bagi sistem kekuasaan yang ada. Jika Anne Frank tidak
menulis buku diary sebagai perwujudan dari situasi kelam yang ia alami saat
perang dunia II, apakah dunia bisa ikut merasakan kekejian yang dilakukan Nazi
pada peristiwa holocaust kala itu ?. Apakah gagasan "Das Kapitalis
" dan Marxsisme bisa muncul jika karya- karya Marx dihanguskan pada waktu
itu?. Patut bersyukur jika buku- buku masih menjadi ingatan abadi yang dapat
dikaji di kemudian hari. Reformasi menjadi contoh kecil makna buku sehingga
aktivis mahasiswa pada akhirnya dapat melengserkan kekejaman orde baru.
Bukan waktunya lagi menjadikan
buku sebagai pemuas hasrat semata, tetapi bagaimana cara agar buku bisa menjadi
nutrisi intelektualitas mahasiswa. Apa yang bisa diharapkan bagi mahasiswa yang
buta literasi. Hal yang lebih penting yaitu umur sebuah buku. Buku seketika
bisa hilang besok ataupun lusa, entah karena rusaknya pepohonan, pelarangan
beredarnya buku, peristiwa layaknya bibliosida, pencatatan sejarah yang
menyimpang, isu paperless society dsb. Sejatinya buku adalah warna yang dapat
menghiasi sebuah peradaban. Tergantung bagaimana generasi bangsa bisa
menghargai makna dari buku itu sendiri.
Tidak
dipungkiri bahwa buku menjadi fasilitas yang mewarnai intelektualitas generasi
bangsa. Pada akhirnya hal itu pula yang akan berpengaruh pada wawasan
kebangsaan serta ketatanegaraan nasional maupum intenasional. Menjadi penting
untuk bisa meneladani dan menjadikan percontohan berbagai tokoh literasi dalam
mengeksplore keilmuan. Ghiroh gerakan mahasiswa secara otomatis akan muncul
lewat intensitas literasi yang luas. Pada intinya pentingnya literasi ada pada
keilmuan dan pengetahuan yang ada. Dengan itu, pola fikir maju bisa terbentuk,
sehingga cita-cita mahasiswa terkhusus para aktivis pergerakan dapat mulai
terwujud kembali.
(Ditulis oleh Sahabat Ilham Sofyan -Koordinator Biro Pendidikan dan Pengkaderan PMII Rashul)